Di dalam Islam tidak ada aturan secara khusus bagaimana membagi harta gono – gini. Islam hanya memberika rambu-rambu secara umum di dalam menyelesaikan masalah bersama, diantaranya adalah :
1. Pembagian harta gono-gini tergantung kepada kesepakatan suami dan istri. Kesepakatan ini di dalam Al Qur’an disebut dengan istilah “Ash Shulhu “yaitu perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami istri) setelah mereka berselisih. Allah SWT berfirman:
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) “ (Qs. an-Nisa’ : 128)
Ayat di atas menerangkan tentang perdamaian yang diambil oleh suami istri setelah mereka berselisih. Biasanya di dalam perdamaian ini ada yang harus merelakan hak-haknya, pada ayat di atas, istri merelakan hak-haknya kepada suami demi kerukunan antar keduanya. Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah saw :
Dari Amru’ bin Auf al Muzani dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah saw bersabda: “Perdamaian adalah boleh di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan perdamaian yang menghalalkan yang haram “
Begitu juga dalam pembagian harta gono-gini, salah satu dari kedua belah pihak atau kedua-duanya kadang harus merelakan sebagian hak-nya demi untuk mencapai suatu kesepakatan. Umpamanya : suami istri yang sama-sama bekerja dan membeli barang-barang rumah tangga dengan uang mereka berdua, maka ketika mereka berdua melakukan perceraian, mereka sepakat bahwa istri mendapatkan 40 % dari barang yang ada, sedang suami mendapatkan 60 %, atau istri 55 % dan suami 45 %, atau dengan pembagian lainnya, semuanya diserahkan kepada kesepakatan mereka berdua.
2. Bisa ditemukan di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) dalam Peradilan Agama, pasal 97, yang menyebutkan bahwa :
Jika suami-isteri yang akan bercerai berperkara mengenai harta gono-gini ke Pengadilan Agama, maka ada ketentuan khusus yang diberlakukan. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 97 ada ketentuan bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak mendapat seperdua (bagian 50 %) dari harta bersama, sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Jadi, ketentuan pasal 97 dalam Kompilasi Hukum Islam bukanlah ketentuan yang sifatnya wajib secara syar’i. Sebab tidak ada nash dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits yang menerangkan bahwa pembagiannya harus seperti itu, yakni suami dan isteri masing-masing mendapatkan setengah (50 %).
Maka dari itu, seperti yang telah disampaikan di atas, penyelesaian sengketa harta gono gini dapat dilakukan di luar Pengadilan Agama berdasarkan musyawarah dengan menempuh jalan perdamaian (ash-shuluh). Dalam hal ini dapat diterapkan sabda Rasulullah SAW :
“Perdamaian adalah boleh [dilakukan] di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Al-Hakim, Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan At-Tirmidzi).
Hadits ini telah membolehkan adanya perdamaian (ash-shuluh), yaitu suatu akad (perjanjian) untuk menyelesaikan persengketaan. Dalam salah satu penerapannya, perdamaian dapat dilaksanakan di antara suami-isteri yang bersengketa.
Dengan melakukan perdamaian ini, pembagian harta gono gini dapat dilakukan atas dasar kesepakatan dan kerelaan dari kedua pihak (suami-istri) yang bercerai. Misalnya, suami isteri sepakat membagi harta dengan prosentase suami mendapat sepertiga, sedangkan isteri mendapat dua pertiga. Atau sebaliknya misalkan suami mendapatkan dua pertiga sedang isteri mendapat sepertiga. Atau prosentase lainnya sepanjang telah disepakati dalam perdamaian. Jadi, tidak wajib masing-masing mendapat setengah, tetapi masing-masing mendapatkan bagian sesuai dengan kesepakatan yang terjadi dalam perdamaian.
A. Pembagian Harta Gono- Gini Menurut RUU
Dalam setiap Perkawinan tidak terlepas oleh adanya harta benda, baik yang diperoleh sebelum perkawinan, pada saat perkawinan berlangsung maupun yang diperoleh selama menjadi suami-istri dalam suatu ikatan perkawinan.
Undang-Undang Perkawinan membedakan harta benda dalam perkawinan, yang diatur pada Pasal 35 bahwa :
1. Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dengan adanya perbedaan jenis harta benda dalam perkawinan tersebut mempengaruhi cara melakukan pengurusannya. Harta bersama diurus secara bersama-sama oleh suami-isteri. Dalam melakukan pengurusan harta bersama tersebut, meraka dapat bertindak dengan adanya persetujuan kedua belah pihak. Artinya, suami atau isteri jika melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama berdasarkan kesepakatan bersama. Hal tersebut di atas dapat dilihat dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berbunyi :
1. Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.